Pengertian Lupus
Lupus adalah penyakit inflamasi kronis yang disebabkan oleh sistem
kekebalan tubuh yang keliru sehingga mulai menyerang jaringan dan organ tubuh
sendiri. Inflamasi akibat lupus dapat menyerang berbagai bagian tubuh,
misalnya:
§
- Kulit
- Sendi
- Sel darah
- Paru-paru
- Jantung
Gejalanya kerap mirip
dengan penyakit lain sehingga sulit untuk didiagnosis. Gejala lupussangat
beragam. Ada yang ringan dan ada yang bahkan mengancam jiwa. Penyakit ini
memang tidak menular, tapi bisa berbahaya dan bahkan berpotensi mematikan.
Gejala umumnya adalah ruam kulit, kelelahan, sakit dan pembengkakan pada sendi.
Lupus – Penyakit Autoimun
Penyakit
autoimun adalah istilah yang digunakan saat sistem imunitas atau kekebalan
tubuh seseorang menyerang tubuhnya sendiri. Penyebab kondisi autoimun pada
lupus belum diketahui. Sistem kekebalan tubuh penderita lupus akan menyerang
sel, jaringan, dan organ yang sehat.
Ada juga yang menganggap
pemicu dan penyebab munculnya penyakit
lupus pada beberapa
orang adalah karena pengaruh faktor genetika dan lingkungan.
Penderita Lupus di Indonesia
Penderita
lupus di dunia dipercaya mencapai lima juta jiwa. Penyakit ini kebanyakan
menyerang wanita pada usia 15-50 tahun (usia masa produktif). Tetapi tidak
menutup kemungkinan bahwa lupus juga dapat menyerang anak-anak dan pria.
Menurut
data dari Yayasan Lupus Indonesia (YLI), jumlah penderita lupus di Indonesia
pada tahun 2012 mencapai 12.700 jiwa. Jumlah ini kemudian meningkat menjadi
13.300 jiwa pada tahun 2013.
Apa Sajakah Tipe-tipe Lupus?
Penyakit
lupus terbagi dalam beberapa tipe, antara lain:
§ Lupus
eritematosus sistemik (systemic
lupus erythematosus/SLE).
§ Lupus
eritematosus diskoid (discoid
lupus erythematosus/DLE).
§ Lupus
akibat penggunaan obat.
Jenis lupus yang menjadi
pembahasan utama dalam artikel ini adalah lupus eritematosus sistemik (systemic lupus
erythematosus/SLE).
Lupus eritematosus sistemik (systemic lupus erythematosus/SLE)
Jenis
lupus inilah yang paling sering dirujuk masyarakat umum sebagai penyakit lupus.
SLE dapat menyerang jaringan serta organ tubuh mana saja dengan tingkat gejala
yang ringan sampai parah. Gejala SLE juga dapat datang dengan tiba-tiba atau
berkembang secara perlahan-lahan dan dapat bertahan lama atau bersifat lebih
sementara sebelum akhirnya kambuh lagi.
Banyak yang hanya
merasakan beberapa gejala ringan untuk waktu lama atau bahkan tidak sama sekali
sebelum tiba-tiba mengalami serangan yang parah. Gejala-gejala ringan SLE,
terutama rasa
nyeri dan lelah berkepanjangan, dapat menghambat rutinitas kehidupan. Karena
itu para penderita SLE bisa merasa tertekan, depresi,
dan cemas meski hanya mengalami gejala ringan.
Lupus eritematosus diskoid (discoid lupus erythematosus/DLE)
Jenis lupus yang hanya
menyerang kulit disebut lupus eritematosus diskoid (discoid lupus
erythematosus/DLE). Meski umumnya berdampak
pada kulit saja, jenis lupus ini juga dapat menyerang jaringan serta organ
tubuh yang lain.
DLE
biasanya dapat dikendalikan dengan menghindari paparan sinar matahari langsung
dan obat-obatan. Gejala DLE di antaranya:
§ Pitak
permanen.
§ Ruam
merah dan bulat seperti sisik pada kulit yang terkadang akan menebal dan
menjadi bekas luka.
Lupus akibat penggunaan obat
Efek
samping obat pasti berbeda-beda pada tiap orang. Terdapat lebih dari 100 jenis
obat yang dapat menyebabkan efek samping yang mirip dengan gejala lupus pada
orang-orang tertentu.
Gejala
lupus akibat obat umumnya akan hilang jika Anda berhenti mengonsumsi obat
tersebut sehingga Anda tidak perlu menjalani pengobatan khusus. Tetapi jangan
lupa untuk selalu berkonsultasi kepada dokter sebelum Anda memutuskan untuk
berhenti mengonsumsi obat dengan resep dokter.
Cara Mengobati Lupus
SLE
tidak bisa disembuhkan. Tujuan pengobatannya adalah untuk mengurangi tingkat
gejala serta mencegah kerusakan organ pada penderita SLE.
Beberapa
puluh tahun yang lalu, SLE dipandang sebagai penyakit terminal yang berujung
kepada kematian. Ketakutan ini disebabkan oleh banyaknya penderita pada saat
itu yang meninggal dunia akibat komplikasi dalam kurun waktu 10 tahun setelah
didiagnosis mengidap SLE.
Tetapi kondisi pada
zaman sekarang sudah jauh lebih baik. Berkat pengobatan SLE yang terus berkembang, hampir semua penderita SLE saat ini dapat
hidup normal atau setidaknya mendekati tahap normal. Bantuan dan dukungan dari
keluarga, teman, serta staf medis juga berperan penting dalam membantu para
penderita SLE dalam menghadapi penyakit mereka.
Komplikasi Serius pada
Penderita Penyakit Lupus
Lupus kerap dijuluki
sebagai penyakit seribu wajah karena kelihaiannya dalam meniru gejala penyakit
lain. Kesulitan diagnosis biasanya dapat menyebabkan langkah penanganan yang kurang tepat.
Sekitar
sepertiga penderita SLE memiliki kondisi autoimun lain, misalnya penyakit
tiroid dan sindrom Sjogren. Kondisi ini dapat berujung pada munculnya
komplikasi, termasuk gangguan pada masa kehamilan.
Jika tidak segera
ditangani, SLE juga dapat mengakibatkan berbagai komplikasi serius termasuk pada
penderitanya yang sedang hamil. Selain itu proses pengobatan yang dijalani juga
dapat menyebabkan penderita rentan terhadap infeksi serius.
Gejala Lupus
Gejala lupus
eritematosus sistemik (Systemic Lupus Erythematosus/SLE) sangat beragam. Banyak penderita SLE yang hanya merasakan beberapa
gejala ringan untuk waktu lama lalu tiba-tiba mengalami serangan yang parah.
Gejala Utama SLE
Meski
gejala SLE bervariasi, ada tiga gejala utama yang umumnya selalu muncul, antara
lain:
Rasa lelah yang ekstrem
Inilah
gejala paling umum pada SLE yang sering dikeluhkan para penderita. Rasa lelah
yang ekstrem sangat mengganggu dan menghambat aktivitas. Banyak penderita yang
menyatakan bahwa gejala ini merupakan dampak negatif terbesar dari SLE dalam
kehidupan mereka.
Melakukan
rutinitas sehari-hari yang sederhana, misalnya tugas rumah tangga atau
rutinitas kantor, dapat membuat penderita SLE sangat lelah. Rasa lelah yang
ekstrem tetap muncul bahkan setelah penderita cukup beristirahat.
Ruam pada kulit
Yang menjadi ciri khas SLE adalah ruam yang menyebar pada batang hidung dan kedua pipi.
Gejala ini dikenal dengan istilah ruam kupu-kupu (butterfly rash) karena bentuknya yang mirip sayap kupu-kupu.
Bagian
tubuh lain yang mungkin ditumbuhi ruam adalah tangan dan pergelangan tangan.
Ruam pada kulit akibat SLE dapat membekas secara permanen dan bertambah parah
jika terpapar sinar matahari akibat reaksi fotosensitivitas.
Nyeri pada persendian
Gejala
utama lain dari SLE adalah rasa nyeri. Gejala ini umumnya muncul pada
persendian tangan dan kaki penderita. Rasa nyeri juga mungkin dapat berpindah
dengan cepat dari sendi satu ke sendi lain.
Tetapi
SLE umumnya tidak menyebabkan kerusakan atau cacat permanen pada persendian.
Itulah yang membedakan SLE dengan penyakit lain yang juga menyerang persendian.
Gejala-gejala Lain yang Mungkin
Menyertai
Tiap
penderita SLE merasakan gejala yang berbeda-beda. Ada yang mengalami gejala
ringan dan ada yang berat.
Ada
beragam gejala lain yang dapat muncul selain yang utama. Tetapi tidak semua
gejala tersebut akan dialami penderita. Banyak penderita yang hanya mengalami
gejala utama.
Berikut
adalah gejala-gejala lain yang kemungkinan dialami penderita SLE:
§ Sariawan yang
terus muncul.
§ Demam tinggi (38ºC atau lebih).
§ Sakit kepala.
§ Mata
kering.
§ Sakit
dada.
§ Hilang
ingatan.
§ Napas
pendek akibat inflamasi paru-paru, dampak ke jantung, atau anemia.
§ Tubuh
menyimpan cairan berlebihan sehingga terjadi gejala seperti pembengkakan pada
pergelangan kaki
§ Jari-jari
tangan dan kaki yang memutih atau membiru jika terpapar hawa dingin atau karena
stres (fenomena Raynaud).
Penyebab Lupus
Sistem
kekebalan tubuh berfungsi untuk melindungi tubuh dari sumber infeksi (misalnya,
bakteri, atau virus) yang masuk. Itulah tujuan tubuh memproduksi antibodi.
Tetapi
sistem kekebalan tubuh penderita lupus eritematosus sistemik (SLE) akan
berbalik menyerang sel, jaringan, dan organ tubuh yang sehat. Inilah yang
disebut dengan kondisi autoimun.
Penyebab
kondisi ini pada penyakit lupus belum diketahui. Menurut sebagian besar pakar,
SLE disebabkan oleh kombinasi dari beberapa penyebab.
Para
pakar menduga bahwa ada beberapa faktor genetika yang dapat mempertinggi risiko
seseorang terkena lupus. Faktor-faktor lingkungan juga punya andil dalam memicu
penyebab penyakit ini.
Pengaruh Genetika
Faktor
ini dipercaya sebagai salah satu penyebab SLE karena ada penelitian yang
membuktikan bahwa jika salah satu anak kembar identik menderita SLE, saudaranya
juga memiliki risiko setinggi 25% untuk terkena penyakit yang sama. Bukti
lainnya adalah tingkat perkembangan SLE dengan variasi yang signifikan dalam
tiap grup etnis.
Mutasi
genetika kemungkinan berperan besar sebagai penyebab SLE. Menurut para
peneliti, ada beberapa mutasi genetika yang kemungkinan menjadi pemicu
meningkatnya risiko SLE. Saat terjadi kekacauan pada perintah normal dari gen
tertentu, mutasi genetika akan muncul. Hal ini akan menyebabkan keabnormalan
dalam kinerja tubuh.
Gen-gen
termutasi umumnya berhubungan dengan fungsi tertentu dari sistem kekebalan
tubuh. Mungkin inilah yang menyebabkan sistem kekebalan tubuh penderita SLE
mengalami kerusakan.
Alasan
di balik jumlah penderita lupus wanita yang lebih banyak daripada pria
kemungkinan karena sebagian gen termutasi mengandung kromosom X. Kromosom
adalah struktur dalam inti sel yang mengandung informasi genetika. Pria
memiliki satu kromosom X dan satu kromosom Y, sedangkan wanita memiliki
sepasang kromosom X.
Pengaruh Lingkungan
Risiko
orang-orang yang rentan menderita SLE bisa saja meningkat jika dipicu oleh
beberapa faktor lingkungan. Meski belum terbukti secara luas, faktor-faktor
tersebut meliputi:
§ Perubahan
hormon yang terjadi pada wanita, misalnya pada saat pubertas atau hamil.
§ Paparan
terhadap sinar matahari.
§ Obat-obatan
yang dapat memicu lupus-akibat-obat. Jenis lupus ini biasanya akan hilang saat
konsumsi obat yang menjadi penyebabnya dihentikan.
Selain
faktor-faktor di atas, virus Epstein-Barr (EBV) juga dianggap berkaitan dengan
SLE. Tetapi yang menjadi masalah adalah infeksi virus ini jarang menunjukkan
gejala. Jika ada pun, gejalanya berupa penyakit demam kelenjar.
Diagnosis Lupus
Gejala lupus
eritematosus sistemik (systemic lupus erythematosus/SLE) kerap mirip dengan penyakit lain yang sangat umum sehingga sulit
untuk didiagnosis. Selain itu, gejala yang dialami tiap penderita juga berbeda
dan terkadang tidak konsisten. Ada penderita yang mungkin hanya merasakan
gejala ringan untuk beberapa waktu atau tiba-tiba bertambah parah pada
saat-saat tertentu.
Jenis-jenis Tes Darah yang Dapat Digunakan
Ada
beberapa jenis tes darah yang biasanya dianjurkan jika dokter mencurigai Anda
menderita SLE. Kombinasi dari hasil tes-tes tersebutlah yang dapat membantu
mengonfirmasi diagnosis SLE.
Tes antibodi anti-nuklir (anti-nuclear antibody/ANA)
Tes
ini digunakan untuk memeriksa keberadaan sel antibodi tertentu dalam darah,
yaitu antibodi anti-nuklir. Jenis antibodi ini merupakan ciri utama SLE.
Sekitar 95% penderita SLE memiliki antibodi ini.
Tetapi
hasil yang positif tidak selalu berarti Anda mengidap SLE, jadi tes antibodi
anti-nuklir tidak bisa dijadikan patokan untuk penyakit ini. Tes lain juga
dibutuhkan untuk memastikan diagnosis.
Tes antibodi anti-DNA
Tes
lain yang digunakan untuk memeriksa keberadaan antibodi tertentu dalam darah
adalah tes anti-DNA. Adanya antibodi anti-DNA dalam darah akan meningkatkan
risiko Anda terkena SLE.
Jumlah
antibodi anti-DNA akan meningkat saat SLE bertambah aktif. Karena itu, hasil
tes Anda akan meningkat drastis saat Anda mengalami serangan yang parah.
Tetapi
orang-orang yang tidak menderita SLE juga dapat memiliki antibodi ini.
Tes komplemen C3 dan C4
Dokter
mungkin akan menganjurkan pemeriksaan tingkat komplemen dalam darah untuk
mengecek keaktifan SLE. Komplemen adalah senyawa dalam darah yang membentuk
sebagian sistem kekebalan tubuh. Level komplemen dalam darah akan menurun
seiring aktifnya SLE Anda.
Pemeriksaan Lanjut yang Dianjurkan Setelah Diagnosis SLE Positif
Penderita
SLE memiliki risiko untuk terkena penyakit lain, misalnya gangguan ginjal atau
anemia. Karena itu, pemantauan rutin untuk melihat dampak SLE pada tubuh orang
yang positif mengidap SLE sangat dibutuhkan.
Proses ini akan membantu
dokter untuk memantau penyakit-penyakit lain yang mungkin muncul sehingga dapat
segera ditangani. Pemeriksaan lain yang mungkin Anda butuhkan untuk mengecek
dampak SLE pada organ dalam adalah rontgen, USG, dan CT scan.
Pengobatan Lupus
Lupus eritematosus
sistemik (systemic lupus erythematosus/SLE) tidak bisa disembuhkan. Tujuan pengobatan yang tersedia adalah
untuk mengurangi tingkat gejala, mencegah kerusakan organ dalam, serta
meminimalkan dampaknya pada kehidupan penderita SLE.
Menghindari Paparan Sinar
Matahari
Melindungi
kulit dari sinar matahari sangatlah penting bagi penderita SLE. Ruam pada kulit
yang dialami penderita SLE dapat bertambah parah jika terpapar sinar matahari.
Langkah yang dapat dilakukan adalah:
§ Mengenakan
pakaian yang menutupi seluruh bagian kulit.
§ Memakai
topi dan kacamata hitam.
§ Mengoleskan
tabir surya berdosis tinggi agar kulit tidak terbakar matahari.
Meski
demikian, tidak semua penderita lupus sensitif terhadap sinar matahari. Ada
juga yang tidak perlu menerapkan langkah-langkah di atas.
Pengobatan
khusus mungkin tidak dibutuhkan oleh penderita SLE dengan gejala ringan, tetapi
mereka umumnya tetap memerlukan obat-obatan untuk menangani gejalanya. Berikut
adalah obat-obatan yang mungkin dibutuhkan oleh penderita SLE.
Obat anti inflamasi nonsteroid
Nyeri
sendi atau otot merupakan salah satu gejala utama SLE. Dokter mungkin akan
memberi obat anti inflamasi nonsteroid untuk mengurangi gejala ini.
Obat anti inflamasi
nonsteroid adalah pereda sakit yang dapat mengurangi inflamasi yang terjadi pada
tubuh. Jenis obat yang umumnya diberikan dokter pada penderita SLE meliputi ibuprofen, naproxen, diclofenac, dan piroxicam.
Jenis
obat ini (terutama, ibuprofen) sudah dijual bebas dan dapat mengobati nyeri
sendi atau otot yang ringan. Tetapi Anda membutuhkan obat dengan resep dokter
jika mengalami nyeri sendi atau otot yang lebih parah.
Penderita SLE juga
sebaiknya waspada karena obat ini tidak cocok jika mereka sedang atau pernah
mengalami gangguan lambung, ginjal, atau hati. Obat ini juga mungkin tidak
cocok untuk penderita asma.
Selain
itu, anak-anak di bawah 16 tahun sebaiknya tidak meminum aspirin.
Konsultasikanlah kepada dokter untuk menemukan obat anti inflamasi nonsteroid
yang cocok untuk Anda.
Konsumsi
obat anti inflamasi nonsteroid dosis tinggi atau jangka panjang dapat
mengakibatkan pendarahan dalam karena rusaknya dinding lambung. Karena itu,
dokter akan memantau kondisi penderita SLE yang harus mengkonsumsinya untuk
jangka panjang dengan cermat. Jika komplikasi ini memang terjadi, dokter akan
menganjurkan pilihan lain.
Kortikosteroid
Kortikosteroid
dapat mengurangi inflamasi dengan cepat dan efektif. Obat ini biasanya
diberikan oleh dokter jika penderita SLE mengalami gejala atau serangan yang
parah.
Untuk
mengendalikan gejala serta serangan, tahap awal pemberian obat ini mungkin akan
berdosis tinggi. Lalu dosisnya diturunkan secara bertahap seiring kondisi
penderita yang membaik.
Kortikosteroid selalu
diberikan dengan dosis terendah yang efektif. Dosis tinggi serta konsumsi
jangka panjang obat ini dapat menyebabkan efek samping yang meliputi penipisan
tulang, penipisan kulit, bertambahnya berat badan, dan peningkatan tekanan
darah tinggi.
Cara
meminimalisasi efek samping steroid adalah dengan menyesuaikan dosis steroid
dengan aktivitas penyakit sambil mengendalikannya secara efektif. Selama Anda
mengikuti resep dan diawasi oleh dokter, kortikosteroid termasuk obat yang aman
untuk digunakan
Hydroxychloroquine
Selain pernah digunakan
untuk menangani malaria,
obat ini juga efektif untuk mengobati beberapa gejala utama SLE. Di antaranya:
§ Nyeri
sendi dan otot
§ Kelelahan
§ Ruam
pada kulit
Dokter
spesialis umumnya menganjurkan konsumsi obat ini untuk jangka panjang bagi
penderita SLE. Tujuannya adalah untuk:
§ Mencegah
serangan yang parah.
§ Mengendalikan
gejala.
§ Mencegah
perkembangan komplikasi yang lebih serius.
Keefektifan hydroxychloroquine biasa akan dirasakan penderita SLE setelah mengonsumsinya selama
1,5-3 bulan.
Tetapi semua obat tetap
memiliki efek samping, termasuk hydroxychloroquine. Di antaranya adalah gangguan pencernaan, diare, sakit
kepala, dan ruam pada kulit.
Obat
ini juga memiliki efek samping lain yang lebih serius, tetapi sangat jarang
terjadi. Contohnya, diperkirakan terdapat risiko 1:2000 di antara penderita SLE
yang mengonsumsi obat ini yang mungkin mengalami kerusakan mata. Karena sangat
jarang, pemeriksaan mata secara umum tidak diharuskan untuk semua penderita
lupus yang mengonsumsi obat ini.
Segera konsultasikanlah
kepada dokter jika Anda mengalami gangguan penglihatan selama mengonsumsi hydroxychloroquine.
Obat imunosupresan
Cara kerja obat ini
adalah dengan menekan kinerja sistem kekebalan tubuh. Ada beberapa jenis
imunosupresan yang biasanya diberikan dengan resep dokter, yaitu azathioprine,mycophenolate
mofetil, dan cyclophosphamide.
Imunosupresan
akan meringankan gejala SLE dengan membatasi kerusakan pada bagian-bagian tubuh
yang sehat akibat serangan sistem kekebalan tubuh. Obat ini juga terkadang
diberikan bersamaan dengan kortikosteroid. Jika dikombinasikan, keduanya dapat
meringankan gejala SLE dengan lebih efektif. Penggunaan imunosupresan juga
kemungkinan dapat mengurangi dosis kortikosteroid yang dibutuhkan penderita.
Imunosupresan
termasuk obat yang sangat keras dan dapat menyebabkan efek samping sebagai
berikut:
§ Muntah.
§ Kehilangan
nafsu makan.
§ Pembengkakan
gusi.
§ Diare.
§ Mudah
lebam atau berdarah.
§ Berjerawat.
§ Sakit
kepala.
§ Bertambahnya
berat badan.
§ Pertumbuhan
rambut berlebihan.
Karena
itu, obat ini biasanya diberikan dengan resep dokter hanya untuk penderita SLE
yang mengalami gejala atau serangan yang parah. Segera konsultasikan kepada
dokter jika ada efek samping yang terasa lebih mengganggu daripada manfaatnya.
Dosis Anda mungkin perlu disesuaikan.
Tiap jenis imunosupresan
menyebabkan efek samping yang berbeda-beda. Misalnya,mycophenolate dan cyclophosphamide dapat menyebabkan cacat
lahir. Karena itu, penderita SLE wanita yang menggunakan kedua jenis obat ini
dan aktif secara seksual dianjurkan untuk menggunakan alat kontrasepsi yang
terjamin keampuhannya.
Bagi penderita SLE
wanita yang berniat untuk punya anak, Anda dianjurkan untuk memilih obat lain
(misalnya azathioprine). Anda juga dianjurkan
untuk mengonsultasikannya terlebih dulu kepada dokter spesialis.
Kehamilan
sebaiknya direncanakan pada saat gejala SLE Anda berkurang (masa remisi).
Pemantauan saksama dari dokter spesialis serta dokter kandungan selama masa
kehamilan berlangsung juga sangat penting.
Risiko
terjadinya infeksi akan meningkat seiring dengan kinerja sistem kekebalan tubuh
yang ditekan. Segera hubungi dokter jika Anda mengalami gejala infeksi karena
Anda mungkin membutuhkan penanganan secepatnya untuk mencegah komplikasi yang
serius.
Gejala
infeksi terkadang mirip dengan serangan lupus dan meliputi:
§ Serangan batuk yang
disertai dahak atau napas terengah-engah.
§ Demam tinggi (38ºC atau lebih).
§ Sensasi
terbakar yang terasa saat buang air kecil.
§ Kencing
darah (hematuria).
Hindarilah kontak dengan
orang yang sedang mengalami infeksi seringan apa pun atau walau Anda sudah
memiliki kekebalan tubuh terhadap infeksi tersebut, misalnya cacar
airatau campak. Penularan tetap mungkin terjadi karena kinerja
sistem kekebalan tubuh Anda sedang menurun karena ditekan oleh obat
imunosupresan.
Imunosupresan
juga dapat menyebabkan kerusakan pada hati. Karena itu, Anda membutuhkan
pemeriksaan kesehatan dan tes darah secara rutin selama menggunakan
imunosupresan.
Rituximab
Jika obat-obat lain
tidak mempan bagi penderita SLE, dokter akan menganjurkanrituximab.
Obat ini termasuk jenis baru dan awalnya dikembangkan untuk menangani kanker
darah tertentu, misalnya limfoma. Tetapi rituximab terbukti efektif untuk menangani penyakit autoimun, seperti SLE
dan artritis reumatoid.
Cara kerja rituximab adalah dengan mengincar dan membunuh sel B. Ini adalah sel yang
memproduksi antibodi yang menjadi pemicu gejala SLE. Obat ini akan dimasukkan
melalui infus yang akan berlangsung selama beberapa jam. Selama proses
pengobatan ini berlangsung, kondisi Anda akan dipantau dengan cermat.
Efek samping yang umum
dari rituximab meliputi pusing, muntah, dan
gejala yang miripflu (misalnya menggigil dan demam tinggi selama
pengobatan berlangsung). Efek samping lain yang mungkin terjadi (meski sangat
jarang) adalah reaksi alergi. Reaksi ini
umumnya muncul selama pengobatan berlangsung atau tidak lama setelahnya.
Komplikasi Lupus
Gejala
SLE yang ringan atau terkendali dengan baik biasa tidak terlalu menghambat
rutinitas sehari-hari penderitanya. Risiko komplikasi juga mungkin akan
menurun.
Seiring bertambahnya
usia, gejala SLE mungkin akan banyak berkurang. Penderita SLE yang berusia di
atas 50 tahun umumnya mengalami hal ini. Di antara penderita SLE wanita juga
ada sebagian yang mengaku kondisinya membaik setelah mengalami masamenopause.
Tetapi
Anda harus tetap waspada jika menderita SLE. Risiko munculnya kondisi serius
dan komplikasi yang mematikan tetap ada.
SLE dan Komplikasi Penyakit Kardiovaskular
Penyakit kardiovaskular
adalah istilah umum untuk semua jenis penyakit yang menyerang jantung dan
pembuluh darah, seperti stroke, serangan
jantung dan tekanan
darah tinggi. Selain itu, beberapa penderita SLE juga bisa mengalami
radang pada kantung yang membungkus jantung (perikarditis) atau pada otot-otot
jantung (miokarditis).
SLE
dapat menyebabkan inflamasi pada jantung dan pembuluh darah. Karena itu,
penderita SLE diperkirakan memiliki risiko 6-8 kali lebih tinggi untuk
mengalami penyakit kardiovaskular. Risiko ini dapat dikurangi melalui
langkah-langkah berikut:
§ Berolahraga
secara teratur. Setidaknya 2,5 jam dalam seminggu dengan jenis olahraga yang
dapat membuat napas Anda sedikit terengah-engah.
§ Menjaga
berat badan yang ideal dan sehat.
§ Menerapkan
pola makan yang sehat dan seimbang. Misalnya makanan rendah lemak jenuh, rendah
gula, rendah garam, banyak buah, dan sayuran setidaknya lima porsi dalam
sehari.
§ Berhenti
merokok.
§ Membatasi
konsumsi minuman keras. Batas konsumsi per hari yang direkomendasikan adalah
2-2,5 kaleng bir untuk pria dan maksimal 2 kaleng bir untuk wanita. Sekaleng
bir biasanya berkadar alkohol sebanyak 4,7%.
SLE dan Komplikasi Nefritis Lupus
Inflamasi
yang terjadi pada ginjal untuk waktu yang lama akibat SLE memiliki potensi
untuk menyebabkan penyakit ginjal yang serius. Komplikasi ini disebut nefritis
lupus.
Diperkirakan
sekitar 50% di antara penderita SLE yang mengidap nefritis lupus. Penyakit ini
juga cenderung berkembang pada tahap awal SLE (biasanya dalam lima tahun
pertama). Tes darah biasanya akan dianjurkan untuk memantau kondisi ginjal Anda
secara saksama. Beberapa gejala lupus nefritis meliputi:
§ Rasa
gatal
§ Sakit
dada
§ Mual
§ Muntah
§ Pusing
§ Sering
buang air kecil
§ Kencing
darah
§ Pembengkakan
pada kaki
Nefritis
lupus sering tidak menunjukkan gejala, tetapi Anda sebaiknya tetap waspada.
Komplikasi ini sangat berbahaya karena dapat merusak ginjal.
Tekanan darah tinggi
juga dapat disebabkan oleh penyakit ini. Jika tidak ditangani, tekanan darah
tinggi akan mempertinggi risiko penyakit
jantung yang serius (misalnya,
serangan jantung atau angina).
Penanganan untuk lupus
nefritis dapat dilakukan dengan imunosupresan, misalnyaazathioprine,
mycophenolate mofetil, atau cyclophosphamide.
Risiko Penyakit Autoimun yang Lainnya
Tingkat
risiko penderita SLE yang dapat mengidap penyakit autoimun lain diperkirakan
sekitar 30%. Di antaranya adalah penyakit tiroid, sindrom Sjogren, atau sindrom
Hughes (sindrom antifosfolipid).
Sindrom Sjogren pada penderita SLE
Sindrom
Sjogren dapat terjadi pada sekitar 12% penderita SLE. Penyakit ini menyerang
dan merusak kelenjar liur dan air mata. Gejala utama pada kelainan sistem
kekebalan tubuh ini adalah mata dan mulut yang kering.
Sindrom Hughes (sindrom antifosfolipid) pada penderita SLE
Sindrom Hughes dapat
mempertinggi risiko terjadinya penggumpalan darah pada arteri dan vena.
Penggumpalan darah pada arteri dapat menyebabkan stroke dan serangan jantung.
Sedangkan jika terjadi pada vena, penggumpalan darah dapat mengakibatkan
trombosis vena dalam (deep vein thrombosis/DVT). Penyakit ini juga berbahaya bagi ibu
hamil karena dapat mempertinggi risiko komplikasi selama masa kehamilan.
Diagnosis
untuk sindrom Hughes pada penderita SLE dapat dilakukan dengan memeriksa
keberadaan:
§ Komplikasi
yang berhubungan dengan pembuluh darah dan/atau kehamilan.
§ Antibodi
antifosfolipid dalam darah.
SLE dan Kehamilan
SLE biasanya memang
tidak memengaruhi kesuburan (fertilitas). Tetapi penderita SLE wanita (terutama
yang mengidap sindrom Hughes) sebaiknya tetap waspada karena komplikasi umumnya
terjadi pada masa kehamilan mereka. Di antaranya adalah pre-eklampsia, kelahiran
prematur, keguguran dan kelahiran mati.
Dokter biasanya akan
menganjurkan obat-obatan untuk mengurangi kecenderungan penggumpalan darah.
Penanganan dengan aspirin dan suntikan heparin dapat meningkatkan keberhasilan kehamilan untuk pasien sindrom
Hughes.
Risiko
lain yang mungkin terjadi adalah serangan gejala lupus pada masa kehamilan,
misalnya:
§ Pembengkakan
pada kaki dan tangan.
§ Wajah
memerah.
§ Nyeri
otot, tulang, dan sendi.
Obat-obatan yang
kualitasnya terjamin tidak akan memengaruhi ibu serta bayi. Tetapi ada beberapa
jenis obat yang dinilai aman digunakan untuk mengurangi risiko terjadinya
serangan SLE pada masa kehamilan. Di antaranya adalah hydroxychloroquine (obat
anti-malaria), azathioprine (imunosupresan),
dan prednisolone (kortikosteroid).
Dokter
juga mungkin akan menyarankan Anda untuk menunda kehamilan agar mengurangi
risiko komplikasi pada masa kehamilan. Anda biasanya diminta untuk menunggu
selama enam bulan tanpa mengalami serangan SLE dan memiliki tingkat fungsi
ginjal yang normal atau mendekati normal sebelum hamil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar